Mataku terbuka. Tanganku reflek menggagah kacamata,.. dapat.
Langit-langit kamar dengan cat dan dekorasi baru. Ini kamar pengantinku.
Sebenarnnya
ini kamar sarah, iya, dia disebelahku. Tertidur tenang. Dia...
Pengantinku. Kutatap ia, kunikmati cantiknya. Kubelai rambutnya, ia
diam, ia pulas. Kukecup bibirnya, layaknya seorang pangeran membangunkan
sang puti tidur. Namun ia tak bangun, ia masih dipinjam mimpi-mimpinya.
Aku senang melakukannya, setiap hari seperti itu. Seminggu pernikahan
kami.
Ini malam pertama aku tidur seranjang dengan sarah.
Aku tertidur duluan sehabis isya. Biasanya aku tidur di sofa. Seminggu
ini aku belum ‘menyentuh’ nya. Aku selalu tidur diawal malam, dan bangun
diakhirnya. Aku berdiri lama dalam shalatku, aku membaca surah-surah
panjang yang masih kuhafal. Aku terlalu banyak kehilangan ayat-ayat. Aku
malu. mencari dunia membuat banyak ayat yg hilang dari kepalaku. Namun
al-qur’an masih ada dihatiku.
Bulan depan kuputuskan
membawa sarah ke Tasik. Aku akan menjadi pengajar disana. Sarah juga
akan mengajar di pondok putrinya. Mungkin dengan mengajar dipondok
pesantren aku bisa menjaga hafalanku. Lingkungan disana juga baik
untukku dan keluarga kecilku. Beberapa usaha disini biarlah kuamanahkan
pada orang-orang yg kukenal. Aku juga punya pabrik kain sasirangan
paling besaar dikota ini. Biarlah abah yg mengurusnya. Beliau jd
ayahku, Aku punya ayah lagi sekarang.
Sebelum kami pindah ke tasik, rencananya aku akan berbulan madu dulu ke bandung. Ada beberapa tempat bagus
disana. Aku merancang banyak kejutan untuknya. Musim sedang semi, kuharap bunga-bunga cinta akan tumbuh.
“batiy, bangun sayang.. sebentar lagi shubuh datang” aku membangunkan sarah. Kupanggil dia bati, habibatiy, kekasihku.
Matanya terbuka manja. Lalu bangun seketika.
“masih sempatkah untuk tahajud?” tanya nya.
“sepertinya
mepet, sayang. Aku pergi kemasjid dulu ya..” aku tersenyum. Lalu
kukecup keningnya. Sebagaimana rasulullah pernah mencontohkan mencium
kening ‘aisyah ketika hendak pergi kemasjid.
Sarah dingin,
wajahnya tak bermimik. Hanya salam ku yg dijawabnya pelan. Lalu aku
berlalu. Shalat dimasjid adalah kewajiban semua lelaki. Ini wajib.
Banyak dalil yg menguatkan kewajibannya, tidak seperti yg dipahami
banyak orang yg mengira itu hanya muaqqadah.
...
Aku
kembali dari masjid bersama abah yg juga shalat berjamaah dimasjid.
Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar menemui sarah, kusapa ia dg
salam, kutatap wajahnya dengan senyuman, segera kucium lagi keningnya.
Namun ia berpaling. Wajahnya muram.
“apa yang kamu sembunyikan dari aku?”
“sembunyikan..? apa...? sayang ada apa “
“kita sudah menikah seminggu..” serunya
“ya.. aku mengerti..”
“bukankah Allah memerintahkan untuk berbuat baik dan berkasih sayang suami istri? Lalu kenapa kau belum menyentuhku ?”
“aku mencium keningmu setiap hari, sayang. Kamu mencium tanganku, kan?”
Sarah terdiam, kurasa ia tahu kalau aku mempermainkan kemarahannya. Sarah itu sangat peka, sensitif. Hal yang kusuka darinya.
“kamu menyembunyikan sesuatu...” lirihnya
“haammm..”
“foto itu”
“foto apa ?” tanyaku
Sarah menolehku, matanya bercucuran air.
“foto di hidden folder laptop mu”
Aku terperanjat, aku ketahuan..
“sar, maafkan aku..”
“kamu masih mencintainya? Yan.. jawab..!”
Aku kebingungan. Harus kujawab apa.
“baiklah sar, baik.. aku masih menyimpannya. Karna Cuma itu yang tersisa darinya. Humaira sudah pergi sar, dia sudah...”
Aku menghentikan ucapanku. Keadaan hening.
“kenapa yan,kenapa kamu menikahiku ? sakit rasanya...”
“bukan
foto itu alasannya, sar. Percayalah. Bisa kamu hapus jika kamu mau.
Sekarang kita persiapkan bulan madu kita, lusa kan kita ke bandung.”
Sarah diam. Air dimatanya tak juga reda. Kuhapus perlahan. Kuhapus juga foto humaira yg sarah permasalahkan.
Apa
aku memang masih mencintai humaira.. entahlah. Aku sekarang memiliki
sarah sebagai amanah. Aku memilikinya sebagai bingkisan Tuhan untukku.
Ada sesuatu yang harus tumbuh dan berbuah dihati kami.
Aku tahu sarah marah. Tapi tak berarti aku tak bisa membuatnya benar-benar mencintaiku.
....
“Kok senyum nya gitu banget, sar?” candaku
Matanya membesar, ronanya tak samar, senyumnya lingkar, dia memegang tanganku lalu seolah memintaku serius untuk mendengar.
“Seumur
hidup baru hari ini aku ke Pasar terapung, Yan. Aku suka suasananya.
Tradisional, natural, kultur ini masih lestari sampai sekarang.” Sarah
berdecak
“ko kamu tau aku suka budaya, yan?”
Sarah
menikmati kejutan pertamaku. Kuajak ia menuju pasar terapung, sebuah
tempat paling tradisional dikota ini, hanya ada ba’da shubuh sampai
waktu syuruq. Dengan sebuah perahu motor kecil beratap sewaan yg biasa
disebut kelotok, aku mengajaknya menikmati suasana itu bersama
mentari yang mulai tampak. Indah. Seindah sarah. Yang sedikit kucoba
hapus gundah.
“ya, aku tahu lah. Anak seorang pengusaha kain sasirangan yang tidak suka budaya banjar itu konyol” aku megumbar senyum.
Sarah
tersenyum, menatapku ringan, lalu lidahnya sedikit diselipkan diantara
dua bibir merahnya, seolah berkata “gombalmu cetek” . Sangat
menggemaskan melihat wajahnya.
Aku menatap wajah sarah,
lalu pandanganku turun pada tangan kami yang saling berpegangan, angin
pagi menyapa kami yang duduk bersanding dibahtera klasik itu, mentari
muncul di ufuk, seolah lahir dari perut sungai martapura yg begitu luas.
“eeh, “ sarah menarik tangannya.
Aku tersenyum menang. Sarah terbawa suasana. Aku tahu sebenarnya dia suka. Masih ada gengsi dihatinya. Sarah lalu cemberut. Titanic kecil kami masuk membaur ke kumpulan perahu-perahu lain di pasar mengapung itu.
“oh iya sayang, kamu tunggu sebentar disini ya..”
“mau kemana, yan?” cemasnya
“nyari kesukaanmu”
Aku naik keatas atap perahu, aku meloncat lincah keatap perahu lain. Lalu mencari perahu penjual kue, sarah sangat suka kue bingka, khas kota ini. Aku juga suka kue itu, aku suka kota ini. sedikit demi sedikit aku melupakan darah bangsawan acehku.
“berapa cil harga nya seberataan? Bungkus dikantong plastik cil lah” akupun fasih berbicara bahasa daerah sini.
“lima
ribu haja, ni nah. Hati-hati beluncat-luncat nak lah” nasihat ibu2
penjual kue itu, agar aku hati-hati dalam meloncati tiap atap perahu.
Disini meloncati tiap atap perahu adalah hal lumrah. Karena tak ada
daratan, hanya ada sungai luas yang jadi hamparan.
Aku
meloncati atap perahu yg berdekatan mengapung diair. Tinggal sekali
loncat lagi untuk sampai keperahu motor yang kusewa. Namun gelombang
begitu kuat. Dan jarak antara perahu jadi menjauh. Aku meloncat. Dan..
“byuuur”
Aku
terpeleset, embun pagi diatas perahu membuat nya menjadi licin dan aku
meluncur masuk sungai yg entah berapa puluh meter dalamnya. Sepersekian
detik aku jatuh tadi, kudengar teriakan sarah histeris.
Aku
menyelam beberapa detik, kutahan paru-paruku yg haus oksigen. Saat pagi
seperti ini sungai masih jernih, dan sinar matahari menerangi pandangan
ku dari dalam air. Sarah panik mencariku. Aku menghampirinya,
kukeluarkan tanganku dari dalam air, hanya tanganku, beserta kantong
plastik kue yg kupegang sedari tadi.
Sarah merampas
tanganku. Aku keluar dari dalam air. Kurampas oksigen semauku. Aku naik
keperahu motor itu. Bajuku terlalu basah dan aku tertarik mengeringkan
badan berjemur sinar matahari. Aku duduk di ujung diatap perahu, sarah
menghampiriku. Sisa pucat masih ada diwajahnya, mungkinkah ia takut
kehilanganku? Entahlah, tak bisa ia berkata. Kubantu ia duduk besamaku
diatap kapal sederhana itu. Kupercikan air dari tanganku yg basah
kewajahnya. Sarah tersenyum, manis sekali. Kepalanya bersandar dibahuku
yg basah. Angin lagi-lagi bertiup menambah romantis pagi itu. Sesekali
kusuapi sarah dg kue kesukaannya. Banjarmasin adalah kota seribu sungai.
Itu menggambarkan banyaknya sungai dikota ini, pagi ini kami menikmati
wisata menyusuri sungai-sungai pinggiran kota. Melihat pemandangan kota
dari tempat yang berbeda. Dengan kapal motor sederhana.
Tiap
kapal motor dikota ini memiliki bentuk yang sama namun berbeda warna
dan tulisannya, Sebagai ajang kreatifitas dan sesuai selera pemiliknya.
Pak Dayat, pemilik kapal motor yg kusewa tersenyum melihatku dan sarah.
“haha pengantin baru, ya nak ?” tanya beliau
“dia pacar saya, pak” aku tertawa renyah.
Sarah
pun tersenyum, tak malu lagi ia memegang tanganku. Kapal motor itu
terus melaju melewati anak-anak sungai kota ini. Kapal motor bercat
warna hijau cerah, yg baru kusadari bertuliskan sebuah kata sederhana
dibadan kapalnya, kata yang mulai ada dihatiku dan dihati seorang
wanita..
‘CINTA’
Bersambung Lagi..(maaf)
cerbung
The way of Love
Minggu, 08 Juli 2012
Timur laut (18)
Harapan. Iya, harapan. Aku berharap bisa sekali lagi melamarnya.
Kumatikan handphone. Kutengkuk kepalaku, kutopang dengan tangan. Mungkin
pesawat akan delay beberapa saat. Menunggu, diruang tunggu. Disebelahku
ada kumpulan orang, sepertinya mereka atlit atau orang yang hobi arung
jeram. Disudut yang lain ada orang yang duduk jarang-jarang, kurasa
mereka tak mencoba mengakrabkan diri satu sama lain. Lalu ada sejoli yg
asik bergandengan tangan. Mesra. Ditempat lainnya ada juga rombongan
orang-orang paruh baya berpakaian seragam. Setahuku biasanya mereka
adalah rombongan yang baru menyelesaikan ibadah umroh. Lalu ada beberapa
orang lain yg asik menonton televisi bandara.
“para penumpang pesawat XXX diharap segera menaiki pesawat”
Sangat merdu, pengumuman itu menghentikan lamunanku, seketika itu ramailah para penumpang berebut masuk kedalam pesawat. Bak anak seragam merah putih berebut masuk kelas dihari pertama sekolah. Aku memeriksa tempat duduk. Dapat. Aku duduk dikursi bernomor urut 24c. Aku tak bnanyak membawa barang. Tak ada yg kubagasikan, aku hanya membawa ransel yg kutaruh dikabin atas tempat duduk. Aku duduk dengan tenang. Kulihat para penumpang masih sibuk menyimpan barangnya di kabin. Seorang atlit arung jeram itu misalnya, tak jauh ia dariku, repot sekali dia melipat perahu lipatnya dan memasukannya dikabin, atau sejoli yg mengumbar kemesraan tadi, ternyata barang nya banyak sekali. Kurasa mereka sehabis berbulan madu dijakarta. Mudah sekali menebaknya, kudengar dia berbahasa daerah banjar, pastilah mereka ingin pulang ke banjarmasin.
“maaf, pak. Bisa minta kerjasama nya ?” tanya seorang pramugari
“oh iya, ada apa ya ?” aku menurut
“dikursi penumpang tengah ada ibu dan bayinya, karena peraturan keselamatan penerbangan tidak mengizinkan kursi penumpang tengah disamping pintu darurat di isi ibu dan bayi.” Sang pramugari menjelaskan dg ramah.
“jadi kami mohon bapak untuk bersedia bertukar tempat dengan ibu serta bayinya. Kami perlu dua orang, bapak dan mbak disebelah bapak.” Pramugari itu mengisyaratkan seseorang disebelahku.
“oh iya, kalau begitu. Dinomer berapa ya ?”
“30a pak, tepat disamping pintu darurat.”
Aku pindah. Duduk ditempat yang diarahkan lalu mendengarkan informasi keselamatan. Melihat pramugari itu memperagakan baju pelampung, mendengar ia memberi tahu cara memasang sabuk. Walau sangat sudah kulihat, aku seolah tak bosan memperhatikan peragaan mereka. Kuperhatikan, Para jamaah umroh terlihat ceria, apalagi kalau bukan karna kerinduan kepada sanak saudara yang sudah menanti mereka. Kali ini aku duduk bersebelahan dg seorang tua paruh baya. Dia masih menyalakan hp nya. Walau setelah itu ditegur seorang petugas. Lalu disebelah yg lain ada seorang wanita yg td juga bersebelahan denganku dikursi sebelumnya, berperawakan sedang, dilehernya bergantung sebuah kalung, tepat disudut kalung itu ada benda bersilang. Dia non muslim. Aku menarik nafas. Aku ingin cepat sampai kebanjarmasin.
Dan..
Pesawat menanjak, lalu terbang. Hilang dari pandangan orang-orang yang memandang. Aku menguyah permen agar tekanan udara saat itu tak menyakiti telingaku. Lalu bersandar, membaca doa safar. Kepada siapa aku bertawakkal selain kepada Tuhanku. Tuhan semesta alam. Tuhan wanita disebelahku, walau pun dia ingkar.
Pesawat mengorbit beberapa saat. Lalu naik ke lapisan awan yang lebih tinggi, lalu yang lebih tinggi lagi, lalu mencoba untuk seimbang. Berhasil. Pesawat akhirnya stabil disebuah tingkatan angin. Lampu tanda sabuk pengaman telah mati, masing-masing kami melepas sabuk pengaman yg terpasang kuat.
Namun..
Tiba-tiba pesawat bergoyang. Pesawat menabrak sesuatu. Kumpulan awan, iya, kumpulan awan. Musim ini memang sudah hak nya awan untuk bermigrasi. Gumpalan-gumpalan hebat, terus menghambat. Manusia mulai panik. Bapak disampingku tadi yg menyalakan netbok nya terlihat tegang. Kalut. Kudengar dibeberapa baris kursi didepan para jamaah pulang umroh berdzikir, menyebut asma Allah. Hilang ceria barusan. Sebagian dari mereka menangis. Menjerit. Dan ruangan panjang itu seketika berubah menjadi mencekam. Menjadi menakutkan. Dan Kulihat wanita disebelahku menggenggam benda silang dikalungnya. Memejamkan matanya. Malang.
“Bapak bapak.. ibu ibu.. harap tenang, harap tenang, kita akan baik baik saja.” Beberapa pramugari mencoba menenangkan keadaan. Namun sayang, dia kalah. Tak ada yang percaya padanya. Kurasa ia pun tak percaya pada dirinya sendiri.
Keadaan makin menakutkan, masker oksigen keluar otomatis menandakan tekanan udara brubah drastis. Aku bingung, apa yang harus kulakukan. Apa diam saja dan berteriak? Tidak.
Aku langsung mengambil baju pelampung, kupakai. Entah kenapa aku langsung tahu cara memakainya. Padahal ini pertama kali aku memakainya, sering memperlihatkan arahan membuat ku lihai.
Lampu pesawat mati. Semakin histeris. Pesawat telah ditinggal mati mesinnya. Oleng.
“pak. Bagaimana membuka pintu daruratnya.?” Teriak ku
“tarik gagang nya keatas!” kata seorang pramugara. “Tapi itu hanya boleh saat mendarat di atas laut."
Aku tak peduli. Kutarik sekuat tenaga. Kutendang pintunya.
“blaaassss…” pintunya terbuka. Udara masuk tak terkira. Di detik krusial itu, sekuat tenaga kulawan angin. Aku nekat… Loncat……
……
“Aaaaaaaaaa……..”
Aku meloncat, seperti penerjun payung. Melayang. Membelah aliran angin. Tanpa parasut. Badanku terjungkil balik diudara. Aku jatuh horiziontal. Disepintas itu, terlihat pesawat meluncur deras diagonal, menuju laut lepas. Aku masih melayang. Reflekku menuntun kaki ku untuk menekuk, sedang kepala kusimpan dibawah dua tangan yg kusambungkan.
“jleeeeeeb byuurr..”
Aku masuk kelaut. Dorongan nya sangat kuat. Aku masih menerobos aliran air. Semakin dalam aku, semakin kuat himpitan itu menekan badanku. Kucoba membuka mata, gelap. Kututup lagi. Hening.
Aku mendengar sesuatu, iya, sayup sayup suara. Sadarkah aku, apa aku berhalusinasi? entahlah. Suara itu, lembut..
Walaqod arsalna nuuhan ila qoumihi falabitsa fiihim alfa miatin illa khamsiina ‘aama…----
Suara itu hilang, aku kehilangan suaranya. Aku tak tahu, yg aku tahu ayat itu belum selesai.
Fa-annjainaahu wa ashaabassafiina waja’alnahaa aayatal lil ‘aalamiin..
Suara itu datang dan hilang lagi. Disaat itu reflek ku mulai bekerja, kurentangkan tanganku. Kukayuh kakiku, walau aku tak pandai berenang, tapi aku tahu caranya. Terus kukayuh kakiku. Sedikit demi sedikit mataku terbuka, sedikit semi sedikit ada cahaya.
“haaaaaaahhh….” Aku sampai dipermukaan. Mataku pedih. Ku usap. Kulahap udara yang ada. Sedari tadi aku tak bisa bernafas. Baju pelampung ini berisi udara. Ketika terjun tadi aku sempat menarik pengikatnya dan otomatis terisi udara.itu Turut membantuku naik kepermukaan.
“Allahu akbaar….Allahu akbaaar…..” aku berteriak.
Aku selamat. Aku masih hidup.
Aku kembali menarik nafas. Mengusap wajah. Malang. sayang. Sejauh memandang, tak ada apapun selain air laut diseluruh penjuru. Aku menarik nafas. Aku mulai cemas. Beruntungnya hari masih siang. Matahari masih menerangiku. Kutiup sekuat tenanga peluit yg terpasang dibaju pelampung.
“priiiit…..priiiiiiit….priiiiiiiittt…priiiit”
Tak ada yg mendengarku.
Aku menyerah. Aku tak tahu harus apa. Aku tak tahu sampai kapan pelampung ini mengapungkan ku. Aku tak tahu ini dimana. Laut mana? Banyak hiu kah disini? Amankah aku ?
Langit lalu gelap. Awan masih jadi antagonisnya. Hujan datang saat itu. Membasahi wajahku yang sudah basah sedari tadi. Melumuriku dg pasrah. Gemuruh petir ikut hadir siang itu. Aku merenung. Pikiranku kosong. Semarak nya gemuruh itu mengingatkan pada ayat 13 di surah yang ke 13 di juz 13 dari al-qur’an.
Wa yusabbihurra’du bihamdihii wal malaaaikatu min khifatihii…
Dan guruh bertasbih memuji-Nya, (dan demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya
Dingin, air laut menjadi sangat dingin. Apalagi ditambah hembusan angin. Harapan, iya, harapan. Masih adakah harapan?? Sejauh memandang hanya lautan, sejauh memandang hanya kesunyian..
Hujan mulai reda. Matahari kembali menyala. aku berfikir, berfikir… hmm..aku menatap matahari, gagah disana. Matahari, itu kuncinya. Perjalanan dari jakarta ke banjarmasin mengarah ke timur laut, itu artinya pesawat tadi jatuh mengarah ketimur laut. Kulihat pergerakan matahari, pelan dia menuju barat. Seketika kutemukan timur laut. Kuambil ancang-ancang. Kutarik nafas panjang. Berenang. Timurlaut. Entah apa yang kucari. Mungkin masih ada penumpang yang selamat disana, mungkin aku bisa terlacak tim sar, mungkin aku bisa dpt bantuan. Harapan. Aku berenang dengan harapan.
Aku mengayuh kaki dengan cepat, serasa berlari didarat. Aku sudah tak kuat. Tapi apa yg kudapat ? tak ada. Nihil. Masih laut tak bertepi. Kemana mereka, kemana benda besar bersayap itu?
“oooooooy…”
“wooooooooy…..”
Aku berteriak.
Hari mulai gelap, kali ini matahari ingin berlelap.
Lalu..
Diambang menyerah itu, kulihat sebuah benda, mengapung. Kuambil.
“ini sarung notebook bapak sebelah tadi” batinku. Aku bicara sendiri.
“oooooyyyy…” aku berteriak lagi. Berharap ada yang mendengar.
Aku berenang berkeliling, mencari apapun. Dan,,..
“subhanallah…. Alhamdulillah”
Aku menemukan sampan lipat. Pasti ini milik para atlit arung jeram tadi. Langsung kurentangkan penyangga-penyangga alumunium nya. Kutiup kain parasutnya hingga terisi angin. Lumayan banyak udara yg harus kupenuhi. Aku terus meniup, terus meniup. Dadaku ngos-ngosan. Aku terus berusaha. Aku meniup dengan perasaan takut. Aku ingin cepat naik sampan ini.
“haaaaaah….haaaah…..”
Sekuat tenaga kunaiki sampan yang sudah jadi itu. Sampan itu cukup luas untukku seorang diri. Aku berbaring. Aku merasa sangat lega. Setidaknya tak ada hiu yg bisa memakanku. Tubuhku lemah. Goyangan air laut kuat. Aku terombangg ambing. Sedang matahari sudah hilang, kulihat tadi dia berpamitan di ufuk, jingga, cantik. Huuuft. Aku harus shalat magrib. Aku segera shalat. Lalu kuteruskan dg shalat isya. Dikegelapan. Tak ada cahaya selain bintang. Sedangkan bulan, sedang sabit ia. Itupun hilang ditelan awan tenggara. Suara angin menemani. Angin saja, mencoba mengakrabi. Aku mulai menggigil. Bajuku yg basah membuat suhu tubuhku mendingin. Aku teringat sesuatu, baju pelampung ini juga dilengkapi lampu kecil dan batrai. Kunyalakan, itulah cahayaku malam itu. Kuraba kantong, ada dua bungkus kecil permen. Kulahap satu, itulah makan malamku. Satunya lagi, biarlah kujadikan sahur untuk esok pagi. Aku lalu tertimpa kantuk, sebagai rasa aman yg diturunkan Allah.
…..
“nak, keadaan bisa cepat sekali berubah, apapun yg terjadi, kau harus terus optimis…”
“iy..iya bu..” lalu ibuku memeluk. Lalu ia pergi.
“bu,, ibu mau kemana bu.. buu…” aku mengejar, ibuku pergi berlari, sampai ia diujung lorong. Kukejar kesana, namun ia sudah tiada.. tak ada apapun.
….
Aku terbangun, hanya bermimpi. Aku bertemu ibuku disana, aku rindu padanya. Tak terasa ada air mata…
Kulihat arloji, masih ditengah malam. Perutku sangat lapar. aku tak tahu kemana angin menghanyutkanku. Ketika malam, semua arah terlihat sama. Tak ada utara. Akupun tak tahu cara membaca bintang. Yang kulakukan hanya mengayuh sampan lipat ini, tak tahu kemana. Sendiri.
“teek..buuuk” kapal pesiar ku menabrak sesuatu. Kucari-cari, kuraba sekitar kapal, dan….
Jackpot.
“haaaaa…..wooooooyyyyy…..” aku berteriak sendiri. Aku kehilangan kontrol. Luarbiasa. Aku mendapatkan tas ku, tas yang kubawa melompat namun jatuh entah kemana.
“alhamdulillah..alhamdulillah…” aku sadar kembali.
Berarti ini masih tak jauh dari tempat jatuhnya pesawat. Aah.. masa bodoh. Tas lebih membuatku tertarik, kugeledah isinya, aku mencari…
Yah, ini. Laptop dengan ribuan file penting. Alhamdulillah. Hanya basah sedikit. Untung tasku mengapung. Segera kubuka batrai nya. Kutunggu hingga kering. Senasib dengan hp ku.
Lalu, ada…. Aah… ini dia… sebungkus roti, Sebiji apel, dan sebotol teh. Kupeluk tiga benda itu. Mendadak aku jatuh cinta pada mereka. Kupeluk hingga aku tertidur lagi….
4.10am
Aku terbangun lagi. Memang kalo niat sahur, gimanapun pulasnya tidur bisa bangun. Insya Allah. Kumakan roti tadi, lalu minum dan apel pun kumakan sampai tangkainya. Benar-benar lahap. tak tampak bahwa aku mencintai ketiganya. Begitulah perumpamaan cinta karena hawa nafsu.
Lalu aku shalat tahajud, membaca apapun ayat yg kuingat. Tak banyak yg bisa kukerjakan disini. Sampai matahari datang lagi.
Yah. Matahari perlahan datang. Keluar diantara riak air timur. Matahari adalah kompas. Sekarang aku tahu dimana penjuru. Ku kumandangkan adzan. Shalat sunnah. lalu iqomah. Lalu aku menjadi imam sekaligus, makmum.
Hiburan untuk ku. Pemandangan sun rise dilaut seperti ini tak setiap hari bisa kunikmati.Cantik sekali. Dan….
Woooow…
Kumpulan lumba-lumba saling meloncati. Seolah ia pun menikmati suasana pagi. Aku senang sekali. Hewan itu menularkan cerianya kali ini. Walau aku tak berani mendekati. Merekan berkejaran. Mendekat kehadapanku, mereka dihadapanku, jelas. Aku bisa lihat hidungnya, aku bisa dengar lekikannya. Aku bisa dengar deburan air sekelilingnya. Lalu mereka berlalu. Terus berkejaran. Entah dimana rumah mereka. Sampai mereka hilang dari pandangan. Aku sangat senang.
8.30am
Matahari mulai meninggi. Hp beserta laptop sudah kukeringkan. Tak berani kuhidupkan. Badanku dan bajukupun sudah kering. Aku hangat. Walau hanya beberapa saat. Kemudian..
“byuur.. “ aku meloncat kelaut. Aku kepanasan. Berjemur tanpa ada naungan awan. Jika malam tadi aku kedinginan, maka pagi menjelang siang ini aku kepanasan. Lalu aku naik lagi ke sampan, tak berani aku berlama-lama dilaut. Aku tak tahu ada apa didalamnya. Bisa saja banyak karnivora yang mengintaiku disana.
Aku kembali kepanasan. Aku juga bosan. Entah berapa lama lagi aku disini. Atau, disinilah aku selamanya. Tidak, na’udzubillah. Aku masih punya Tuhan untuk berharap. Berdoa. Itulah senjata terakhirku. Aku tengkurap. Kututup kepalaku dengan jaket. Setidaknya kepalaku tak kepanasan.
Aku bangkit. Aku kepanasan, matahari sedang marah padaku, sengatannya membakar. Aku mencari air lagi, kali ini aku hanya berwudhu dan tidak turun kelaut.Dan Itu….
“wooooooy…….. priiiiiiiiiiiiiittt”
Aku berteriak, kutiup juga peluit panjang, layaknya wasit mengakhiri pertandingan sepakbola. Kulihat disalahsatu penjuru ada kapal besar. Jauuh. Jauh sekali. Mendengarku kah mereka ? atau, atau aku hanya berhalusinasi?? apapun, mereka tak bisa mendengarku. Tak lama mereka hilang dengan kecepatan. Ku anggap aku berhalusinasi. Aku layaknya tim sepak bola yg kalah setelah wasit meniup peluit panjang.
Isi tas ranselku lengkap, ada mushaf kecil disana.al-qur’an itu duniaku. aku mengerti kenapa para ulama terdahulu bisa hidup bertahun-tahun dipenjara karena dizholimi raja bisa bertahan hidup dan menghasilkan karya yg kuar biasa. Mereka punya al-qur’an dihati mereka. Itu dunia mereka. Itu harapan mereka. kubaca mushafku. Teringat saat-saat pertama dulu menghafalnya, aku menangis. Aku terus membaca.
1.09pm
Sudahkah zhuhur ? kudirikan hp, kulihat bayangan nya, iya, sudah sampai waktu zhuhur. Aku shalat dan menjama’nya dg ashar. Setelahnya aku beristirahat, selain mendengar suara angin, aku juga mendengar suara aduan perutku yang lapar. aku punya uang didompet, namun tak ada ayam goreng ditengah laut. Aku tak bisa membeli apapun. sabar. Aku menasihati diri sendiri. Lalu aku tertidur.
........
“byuuuuur….. byuuuurrr…..”
Aku terbangun, aku kaget. Ada orang yg bercebur kelaut.
“anda baik-baik saja?”
Mataku terbelalak. Apakah aku berhalusinasi??
“pak.. anda baik-baik saja ?”
“iya.. iya…ayo naik sini pak.” Tawarku.
Aku girang tak terkira, aku selamat.. alhamdulillahi robbil arsyil adziiim
Dua orang itu naik ke sampan ku. kutatap langit, ada helikopter disana. Mereka melambaikan tangan. Aku memeluk dua orang yang naik sampan, mereka adalah tim sar. Mereka berkata semuanya akan baik baik saja. Tak berapa lama, dari helikopter itu mengeluarkan tangga.
“pak, saya bayu, saya akan naik duluan, bapak tolong ikuti dibelakang saya. Lalu mas agus akan menjaga anda dari belakang.” Mengisyaratkan seorang tim sar lainnya.
“iya, pak..”
“ayo pak, pelan pelan saja. Bapak pasti bisa.”
“iya, bismillah”
Aku memanjat tangga itu. Mengikuti orang diatasku, suasana nya sulit. Tangga nya bergoyang diserang angin.
“terus pak, terus panjat.” Mas agus menguatkan semangatku, menatapku dari bawah.
Aku memejamkan mata, kupanjat sekuat tenaga. Dan akhirnya sampai diujung tangga, seseorang menjulurkan tanggan nya untukku, kutangkap. Lalu diangkat nya aku naik.
“anda sehat,pak ?” seorang bertanya, lalu menyodorkan air mineral. Kutolak, lalu aku…
.....
Aku membuka mata.
“heeey, sudah bangun,,, sudah bangun..” seseorang berteriak.
Aku berada dalam mobil, kulihat diluar ada jalan dg banyak mobil. Aku sudah tak dilaut.
“pak, minum pak..”
“sudah magrib.?”
“iya sepertinya….”
Allahu akbar Allahu akbar….
Suara adzan magrib berkumandang. Pas sekali. Kuminum air yg diberikan. Mobil terus berjalan, mobil ambulan.
“kami ingin memeriksakan kondisi anda pak, kita kerumah sakit sekarang”
“iyaa.. eh, ransel saya mana ya?”
“oh ada pak saya taruh dibelakang”
Aku lalu sampai dirumah sakit bhayangkara, jakarta. Tak terlalu jauh dari soekarno hatta. Aku langsung melakukan medical check up. Lalu aku diopname. Dokter menyuruhku beristirahat dulu. Karena katanya tubuhku lemah. Diruangan itu hanya aku sendiri. Bermalam, dijaga oleh beberapa petugas. Paginya sudah ada beberapa wartawan yang menunggu. Namun aku masih tidak diperbolehkan bertemu wartawan. Aku masih lemah. Wajar sebenarnya jika banyak wartawan yang menungguku, aku adalah satu-satunya korban selamat pesawat XXX yang sampai hari ini belum ditemukan bangkainya. Aku juga tak ingin bertemu siapapun. Seharian.
“pak.. tolong pak biarkan kami masuk. Tolong ”
Aku heran, ada beberapa orang yg mencoba masuk ruanganku. Aku penasaran. Kupanggil petugas yang menjagaku.
“pak, siapa diluar..” aku terbata
“seorang wanita muda dan kedua orang tuanya. Katanya mereka keluarga bapak” jawab petugas itu.
“biarkan mereka masuk,pak”
…….
Wanita muda itu… menangis.. menutup hidung dan mulutnya dengan tangan. Dibalik itu dia memanggilku terisak…
“rian…”
Jo_
Harapan, kawan..
jangan soalkan betapa ngawurnya aku menulis, rasakan saja asik nya berimajinasi bersama.
“para penumpang pesawat XXX diharap segera menaiki pesawat”
Sangat merdu, pengumuman itu menghentikan lamunanku, seketika itu ramailah para penumpang berebut masuk kedalam pesawat. Bak anak seragam merah putih berebut masuk kelas dihari pertama sekolah. Aku memeriksa tempat duduk. Dapat. Aku duduk dikursi bernomor urut 24c. Aku tak bnanyak membawa barang. Tak ada yg kubagasikan, aku hanya membawa ransel yg kutaruh dikabin atas tempat duduk. Aku duduk dengan tenang. Kulihat para penumpang masih sibuk menyimpan barangnya di kabin. Seorang atlit arung jeram itu misalnya, tak jauh ia dariku, repot sekali dia melipat perahu lipatnya dan memasukannya dikabin, atau sejoli yg mengumbar kemesraan tadi, ternyata barang nya banyak sekali. Kurasa mereka sehabis berbulan madu dijakarta. Mudah sekali menebaknya, kudengar dia berbahasa daerah banjar, pastilah mereka ingin pulang ke banjarmasin.
“maaf, pak. Bisa minta kerjasama nya ?” tanya seorang pramugari
“oh iya, ada apa ya ?” aku menurut
“dikursi penumpang tengah ada ibu dan bayinya, karena peraturan keselamatan penerbangan tidak mengizinkan kursi penumpang tengah disamping pintu darurat di isi ibu dan bayi.” Sang pramugari menjelaskan dg ramah.
“jadi kami mohon bapak untuk bersedia bertukar tempat dengan ibu serta bayinya. Kami perlu dua orang, bapak dan mbak disebelah bapak.” Pramugari itu mengisyaratkan seseorang disebelahku.
“oh iya, kalau begitu. Dinomer berapa ya ?”
“30a pak, tepat disamping pintu darurat.”
Aku pindah. Duduk ditempat yang diarahkan lalu mendengarkan informasi keselamatan. Melihat pramugari itu memperagakan baju pelampung, mendengar ia memberi tahu cara memasang sabuk. Walau sangat sudah kulihat, aku seolah tak bosan memperhatikan peragaan mereka. Kuperhatikan, Para jamaah umroh terlihat ceria, apalagi kalau bukan karna kerinduan kepada sanak saudara yang sudah menanti mereka. Kali ini aku duduk bersebelahan dg seorang tua paruh baya. Dia masih menyalakan hp nya. Walau setelah itu ditegur seorang petugas. Lalu disebelah yg lain ada seorang wanita yg td juga bersebelahan denganku dikursi sebelumnya, berperawakan sedang, dilehernya bergantung sebuah kalung, tepat disudut kalung itu ada benda bersilang. Dia non muslim. Aku menarik nafas. Aku ingin cepat sampai kebanjarmasin.
Dan..
Pesawat menanjak, lalu terbang. Hilang dari pandangan orang-orang yang memandang. Aku menguyah permen agar tekanan udara saat itu tak menyakiti telingaku. Lalu bersandar, membaca doa safar. Kepada siapa aku bertawakkal selain kepada Tuhanku. Tuhan semesta alam. Tuhan wanita disebelahku, walau pun dia ingkar.
Pesawat mengorbit beberapa saat. Lalu naik ke lapisan awan yang lebih tinggi, lalu yang lebih tinggi lagi, lalu mencoba untuk seimbang. Berhasil. Pesawat akhirnya stabil disebuah tingkatan angin. Lampu tanda sabuk pengaman telah mati, masing-masing kami melepas sabuk pengaman yg terpasang kuat.
Namun..
Tiba-tiba pesawat bergoyang. Pesawat menabrak sesuatu. Kumpulan awan, iya, kumpulan awan. Musim ini memang sudah hak nya awan untuk bermigrasi. Gumpalan-gumpalan hebat, terus menghambat. Manusia mulai panik. Bapak disampingku tadi yg menyalakan netbok nya terlihat tegang. Kalut. Kudengar dibeberapa baris kursi didepan para jamaah pulang umroh berdzikir, menyebut asma Allah. Hilang ceria barusan. Sebagian dari mereka menangis. Menjerit. Dan ruangan panjang itu seketika berubah menjadi mencekam. Menjadi menakutkan. Dan Kulihat wanita disebelahku menggenggam benda silang dikalungnya. Memejamkan matanya. Malang.
“Bapak bapak.. ibu ibu.. harap tenang, harap tenang, kita akan baik baik saja.” Beberapa pramugari mencoba menenangkan keadaan. Namun sayang, dia kalah. Tak ada yang percaya padanya. Kurasa ia pun tak percaya pada dirinya sendiri.
Keadaan makin menakutkan, masker oksigen keluar otomatis menandakan tekanan udara brubah drastis. Aku bingung, apa yang harus kulakukan. Apa diam saja dan berteriak? Tidak.
Aku langsung mengambil baju pelampung, kupakai. Entah kenapa aku langsung tahu cara memakainya. Padahal ini pertama kali aku memakainya, sering memperlihatkan arahan membuat ku lihai.
Lampu pesawat mati. Semakin histeris. Pesawat telah ditinggal mati mesinnya. Oleng.
“pak. Bagaimana membuka pintu daruratnya.?” Teriak ku
“tarik gagang nya keatas!” kata seorang pramugara. “Tapi itu hanya boleh saat mendarat di atas laut."
Aku tak peduli. Kutarik sekuat tenaga. Kutendang pintunya.
“blaaassss…” pintunya terbuka. Udara masuk tak terkira. Di detik krusial itu, sekuat tenaga kulawan angin. Aku nekat… Loncat……
……
“Aaaaaaaaaa……..”
Aku meloncat, seperti penerjun payung. Melayang. Membelah aliran angin. Tanpa parasut. Badanku terjungkil balik diudara. Aku jatuh horiziontal. Disepintas itu, terlihat pesawat meluncur deras diagonal, menuju laut lepas. Aku masih melayang. Reflekku menuntun kaki ku untuk menekuk, sedang kepala kusimpan dibawah dua tangan yg kusambungkan.
“jleeeeeeb byuurr..”
Aku masuk kelaut. Dorongan nya sangat kuat. Aku masih menerobos aliran air. Semakin dalam aku, semakin kuat himpitan itu menekan badanku. Kucoba membuka mata, gelap. Kututup lagi. Hening.
Aku mendengar sesuatu, iya, sayup sayup suara. Sadarkah aku, apa aku berhalusinasi? entahlah. Suara itu, lembut..
Walaqod arsalna nuuhan ila qoumihi falabitsa fiihim alfa miatin illa khamsiina ‘aama…----
Suara itu hilang, aku kehilangan suaranya. Aku tak tahu, yg aku tahu ayat itu belum selesai.
Fa-annjainaahu wa ashaabassafiina waja’alnahaa aayatal lil ‘aalamiin..
Suara itu datang dan hilang lagi. Disaat itu reflek ku mulai bekerja, kurentangkan tanganku. Kukayuh kakiku, walau aku tak pandai berenang, tapi aku tahu caranya. Terus kukayuh kakiku. Sedikit demi sedikit mataku terbuka, sedikit semi sedikit ada cahaya.
“haaaaaaahhh….” Aku sampai dipermukaan. Mataku pedih. Ku usap. Kulahap udara yang ada. Sedari tadi aku tak bisa bernafas. Baju pelampung ini berisi udara. Ketika terjun tadi aku sempat menarik pengikatnya dan otomatis terisi udara.itu Turut membantuku naik kepermukaan.
“Allahu akbaar….Allahu akbaaar…..” aku berteriak.
Aku selamat. Aku masih hidup.
Aku kembali menarik nafas. Mengusap wajah. Malang. sayang. Sejauh memandang, tak ada apapun selain air laut diseluruh penjuru. Aku menarik nafas. Aku mulai cemas. Beruntungnya hari masih siang. Matahari masih menerangiku. Kutiup sekuat tenanga peluit yg terpasang dibaju pelampung.
“priiiit…..priiiiiiit….priiiiiiiittt…priiiit”
Tak ada yg mendengarku.
Aku menyerah. Aku tak tahu harus apa. Aku tak tahu sampai kapan pelampung ini mengapungkan ku. Aku tak tahu ini dimana. Laut mana? Banyak hiu kah disini? Amankah aku ?
Langit lalu gelap. Awan masih jadi antagonisnya. Hujan datang saat itu. Membasahi wajahku yang sudah basah sedari tadi. Melumuriku dg pasrah. Gemuruh petir ikut hadir siang itu. Aku merenung. Pikiranku kosong. Semarak nya gemuruh itu mengingatkan pada ayat 13 di surah yang ke 13 di juz 13 dari al-qur’an.
Wa yusabbihurra’du bihamdihii wal malaaaikatu min khifatihii…
Dan guruh bertasbih memuji-Nya, (dan demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya
Dingin, air laut menjadi sangat dingin. Apalagi ditambah hembusan angin. Harapan, iya, harapan. Masih adakah harapan?? Sejauh memandang hanya lautan, sejauh memandang hanya kesunyian..
Hujan mulai reda. Matahari kembali menyala. aku berfikir, berfikir… hmm..aku menatap matahari, gagah disana. Matahari, itu kuncinya. Perjalanan dari jakarta ke banjarmasin mengarah ke timur laut, itu artinya pesawat tadi jatuh mengarah ketimur laut. Kulihat pergerakan matahari, pelan dia menuju barat. Seketika kutemukan timur laut. Kuambil ancang-ancang. Kutarik nafas panjang. Berenang. Timurlaut. Entah apa yang kucari. Mungkin masih ada penumpang yang selamat disana, mungkin aku bisa terlacak tim sar, mungkin aku bisa dpt bantuan. Harapan. Aku berenang dengan harapan.
Aku mengayuh kaki dengan cepat, serasa berlari didarat. Aku sudah tak kuat. Tapi apa yg kudapat ? tak ada. Nihil. Masih laut tak bertepi. Kemana mereka, kemana benda besar bersayap itu?
“oooooooy…”
“wooooooooy…..”
Aku berteriak.
Hari mulai gelap, kali ini matahari ingin berlelap.
Lalu..
Diambang menyerah itu, kulihat sebuah benda, mengapung. Kuambil.
“ini sarung notebook bapak sebelah tadi” batinku. Aku bicara sendiri.
“oooooyyyy…” aku berteriak lagi. Berharap ada yang mendengar.
Aku berenang berkeliling, mencari apapun. Dan,,..
“subhanallah…. Alhamdulillah”
Aku menemukan sampan lipat. Pasti ini milik para atlit arung jeram tadi. Langsung kurentangkan penyangga-penyangga alumunium nya. Kutiup kain parasutnya hingga terisi angin. Lumayan banyak udara yg harus kupenuhi. Aku terus meniup, terus meniup. Dadaku ngos-ngosan. Aku terus berusaha. Aku meniup dengan perasaan takut. Aku ingin cepat naik sampan ini.
“haaaaaah….haaaah…..”
Sekuat tenaga kunaiki sampan yang sudah jadi itu. Sampan itu cukup luas untukku seorang diri. Aku berbaring. Aku merasa sangat lega. Setidaknya tak ada hiu yg bisa memakanku. Tubuhku lemah. Goyangan air laut kuat. Aku terombangg ambing. Sedang matahari sudah hilang, kulihat tadi dia berpamitan di ufuk, jingga, cantik. Huuuft. Aku harus shalat magrib. Aku segera shalat. Lalu kuteruskan dg shalat isya. Dikegelapan. Tak ada cahaya selain bintang. Sedangkan bulan, sedang sabit ia. Itupun hilang ditelan awan tenggara. Suara angin menemani. Angin saja, mencoba mengakrabi. Aku mulai menggigil. Bajuku yg basah membuat suhu tubuhku mendingin. Aku teringat sesuatu, baju pelampung ini juga dilengkapi lampu kecil dan batrai. Kunyalakan, itulah cahayaku malam itu. Kuraba kantong, ada dua bungkus kecil permen. Kulahap satu, itulah makan malamku. Satunya lagi, biarlah kujadikan sahur untuk esok pagi. Aku lalu tertimpa kantuk, sebagai rasa aman yg diturunkan Allah.
…..
“nak, keadaan bisa cepat sekali berubah, apapun yg terjadi, kau harus terus optimis…”
“iy..iya bu..” lalu ibuku memeluk. Lalu ia pergi.
“bu,, ibu mau kemana bu.. buu…” aku mengejar, ibuku pergi berlari, sampai ia diujung lorong. Kukejar kesana, namun ia sudah tiada.. tak ada apapun.
….
Aku terbangun, hanya bermimpi. Aku bertemu ibuku disana, aku rindu padanya. Tak terasa ada air mata…
Kulihat arloji, masih ditengah malam. Perutku sangat lapar. aku tak tahu kemana angin menghanyutkanku. Ketika malam, semua arah terlihat sama. Tak ada utara. Akupun tak tahu cara membaca bintang. Yang kulakukan hanya mengayuh sampan lipat ini, tak tahu kemana. Sendiri.
“teek..buuuk” kapal pesiar ku menabrak sesuatu. Kucari-cari, kuraba sekitar kapal, dan….
Jackpot.
“haaaaa…..wooooooyyyyy…..” aku berteriak sendiri. Aku kehilangan kontrol. Luarbiasa. Aku mendapatkan tas ku, tas yang kubawa melompat namun jatuh entah kemana.
“alhamdulillah..alhamdulillah…” aku sadar kembali.
Berarti ini masih tak jauh dari tempat jatuhnya pesawat. Aah.. masa bodoh. Tas lebih membuatku tertarik, kugeledah isinya, aku mencari…
Yah, ini. Laptop dengan ribuan file penting. Alhamdulillah. Hanya basah sedikit. Untung tasku mengapung. Segera kubuka batrai nya. Kutunggu hingga kering. Senasib dengan hp ku.
Lalu, ada…. Aah… ini dia… sebungkus roti, Sebiji apel, dan sebotol teh. Kupeluk tiga benda itu. Mendadak aku jatuh cinta pada mereka. Kupeluk hingga aku tertidur lagi….
4.10am
Aku terbangun lagi. Memang kalo niat sahur, gimanapun pulasnya tidur bisa bangun. Insya Allah. Kumakan roti tadi, lalu minum dan apel pun kumakan sampai tangkainya. Benar-benar lahap. tak tampak bahwa aku mencintai ketiganya. Begitulah perumpamaan cinta karena hawa nafsu.
Lalu aku shalat tahajud, membaca apapun ayat yg kuingat. Tak banyak yg bisa kukerjakan disini. Sampai matahari datang lagi.
Yah. Matahari perlahan datang. Keluar diantara riak air timur. Matahari adalah kompas. Sekarang aku tahu dimana penjuru. Ku kumandangkan adzan. Shalat sunnah. lalu iqomah. Lalu aku menjadi imam sekaligus, makmum.
Hiburan untuk ku. Pemandangan sun rise dilaut seperti ini tak setiap hari bisa kunikmati.Cantik sekali. Dan….
Woooow…
Kumpulan lumba-lumba saling meloncati. Seolah ia pun menikmati suasana pagi. Aku senang sekali. Hewan itu menularkan cerianya kali ini. Walau aku tak berani mendekati. Merekan berkejaran. Mendekat kehadapanku, mereka dihadapanku, jelas. Aku bisa lihat hidungnya, aku bisa dengar lekikannya. Aku bisa dengar deburan air sekelilingnya. Lalu mereka berlalu. Terus berkejaran. Entah dimana rumah mereka. Sampai mereka hilang dari pandangan. Aku sangat senang.
8.30am
Matahari mulai meninggi. Hp beserta laptop sudah kukeringkan. Tak berani kuhidupkan. Badanku dan bajukupun sudah kering. Aku hangat. Walau hanya beberapa saat. Kemudian..
“byuur.. “ aku meloncat kelaut. Aku kepanasan. Berjemur tanpa ada naungan awan. Jika malam tadi aku kedinginan, maka pagi menjelang siang ini aku kepanasan. Lalu aku naik lagi ke sampan, tak berani aku berlama-lama dilaut. Aku tak tahu ada apa didalamnya. Bisa saja banyak karnivora yang mengintaiku disana.
Aku kembali kepanasan. Aku juga bosan. Entah berapa lama lagi aku disini. Atau, disinilah aku selamanya. Tidak, na’udzubillah. Aku masih punya Tuhan untuk berharap. Berdoa. Itulah senjata terakhirku. Aku tengkurap. Kututup kepalaku dengan jaket. Setidaknya kepalaku tak kepanasan.
Aku bangkit. Aku kepanasan, matahari sedang marah padaku, sengatannya membakar. Aku mencari air lagi, kali ini aku hanya berwudhu dan tidak turun kelaut.Dan Itu….
“wooooooy…….. priiiiiiiiiiiiiittt”
Aku berteriak, kutiup juga peluit panjang, layaknya wasit mengakhiri pertandingan sepakbola. Kulihat disalahsatu penjuru ada kapal besar. Jauuh. Jauh sekali. Mendengarku kah mereka ? atau, atau aku hanya berhalusinasi?? apapun, mereka tak bisa mendengarku. Tak lama mereka hilang dengan kecepatan. Ku anggap aku berhalusinasi. Aku layaknya tim sepak bola yg kalah setelah wasit meniup peluit panjang.
Isi tas ranselku lengkap, ada mushaf kecil disana.al-qur’an itu duniaku. aku mengerti kenapa para ulama terdahulu bisa hidup bertahun-tahun dipenjara karena dizholimi raja bisa bertahan hidup dan menghasilkan karya yg kuar biasa. Mereka punya al-qur’an dihati mereka. Itu dunia mereka. Itu harapan mereka. kubaca mushafku. Teringat saat-saat pertama dulu menghafalnya, aku menangis. Aku terus membaca.
1.09pm
Sudahkah zhuhur ? kudirikan hp, kulihat bayangan nya, iya, sudah sampai waktu zhuhur. Aku shalat dan menjama’nya dg ashar. Setelahnya aku beristirahat, selain mendengar suara angin, aku juga mendengar suara aduan perutku yang lapar. aku punya uang didompet, namun tak ada ayam goreng ditengah laut. Aku tak bisa membeli apapun. sabar. Aku menasihati diri sendiri. Lalu aku tertidur.
........
“byuuuuur….. byuuuurrr…..”
Aku terbangun, aku kaget. Ada orang yg bercebur kelaut.
“anda baik-baik saja?”
Mataku terbelalak. Apakah aku berhalusinasi??
“pak.. anda baik-baik saja ?”
“iya.. iya…ayo naik sini pak.” Tawarku.
Aku girang tak terkira, aku selamat.. alhamdulillahi robbil arsyil adziiim
Dua orang itu naik ke sampan ku. kutatap langit, ada helikopter disana. Mereka melambaikan tangan. Aku memeluk dua orang yang naik sampan, mereka adalah tim sar. Mereka berkata semuanya akan baik baik saja. Tak berapa lama, dari helikopter itu mengeluarkan tangga.
“pak, saya bayu, saya akan naik duluan, bapak tolong ikuti dibelakang saya. Lalu mas agus akan menjaga anda dari belakang.” Mengisyaratkan seorang tim sar lainnya.
“iya, pak..”
“ayo pak, pelan pelan saja. Bapak pasti bisa.”
“iya, bismillah”
Aku memanjat tangga itu. Mengikuti orang diatasku, suasana nya sulit. Tangga nya bergoyang diserang angin.
“terus pak, terus panjat.” Mas agus menguatkan semangatku, menatapku dari bawah.
Aku memejamkan mata, kupanjat sekuat tenaga. Dan akhirnya sampai diujung tangga, seseorang menjulurkan tanggan nya untukku, kutangkap. Lalu diangkat nya aku naik.
“anda sehat,pak ?” seorang bertanya, lalu menyodorkan air mineral. Kutolak, lalu aku…
.....
Aku membuka mata.
“heeey, sudah bangun,,, sudah bangun..” seseorang berteriak.
Aku berada dalam mobil, kulihat diluar ada jalan dg banyak mobil. Aku sudah tak dilaut.
“pak, minum pak..”
“sudah magrib.?”
“iya sepertinya….”
Allahu akbar Allahu akbar….
Suara adzan magrib berkumandang. Pas sekali. Kuminum air yg diberikan. Mobil terus berjalan, mobil ambulan.
“kami ingin memeriksakan kondisi anda pak, kita kerumah sakit sekarang”
“iyaa.. eh, ransel saya mana ya?”
“oh ada pak saya taruh dibelakang”
Aku lalu sampai dirumah sakit bhayangkara, jakarta. Tak terlalu jauh dari soekarno hatta. Aku langsung melakukan medical check up. Lalu aku diopname. Dokter menyuruhku beristirahat dulu. Karena katanya tubuhku lemah. Diruangan itu hanya aku sendiri. Bermalam, dijaga oleh beberapa petugas. Paginya sudah ada beberapa wartawan yang menunggu. Namun aku masih tidak diperbolehkan bertemu wartawan. Aku masih lemah. Wajar sebenarnya jika banyak wartawan yang menungguku, aku adalah satu-satunya korban selamat pesawat XXX yang sampai hari ini belum ditemukan bangkainya. Aku juga tak ingin bertemu siapapun. Seharian.
“pak.. tolong pak biarkan kami masuk. Tolong ”
Aku heran, ada beberapa orang yg mencoba masuk ruanganku. Aku penasaran. Kupanggil petugas yang menjagaku.
“pak, siapa diluar..” aku terbata
“seorang wanita muda dan kedua orang tuanya. Katanya mereka keluarga bapak” jawab petugas itu.
“biarkan mereka masuk,pak”
…….
Wanita muda itu… menangis.. menutup hidung dan mulutnya dengan tangan. Dibalik itu dia memanggilku terisak…
“rian…”
Jo_
Harapan, kawan..
jangan soalkan betapa ngawurnya aku menulis, rasakan saja asik nya berimajinasi bersama.
Langganan:
Postingan (Atom)